SMK Mikael Surakarta

PILIHAN BAGI YANG LEMAH

PILIHAN BAGI YANG LEMAH

 

Arah Dasar (Ardas) Keuskupan Agung Semarang tahun 2021-2025 mengambil judul “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah”. Arah Dasar yang dirilis secara resmi (menurut Kalender Liturgi Katolik) pada hari Minggu, 20 November 2020, bertepatan dengan Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam, oleh Uskup Agung Semarang, Mgr Robertus Rubiyatmoko, ingin menegaskan beberapa hal. Ardas sendiri tentunya diambil berdasarkan Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja, yang dibenturkan dengan realitas masa kini.

Hal yang paling pokok adalah menegaskan lagi keberadaan Gereja sebagai persekutuan murid-murid Kristus, yang bersama masyarakat memperjuangkan hidup sejahtera dan bermartabat. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, butuh perjuangan di berbagai bidang, dan mengoptimalkan keterlibatan umat untuk bekerjasama dengan berbagai pihak. Kerjasama ini harus dilaksanakan dengan tulus, setia, rendah hati, dan mempercayakan diri pada penyelenggaraan ilahi. Karena Allah yang memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya.

Dari Ardas tersebut, hal yang menarik bagi saya adalah hal-hal keberpihakan kepada kaum kecil, lemah, miskin, dan difabel (atau jika dirangkum, mereka adalah kaum yang selama ini “dipinggirkan” oleh masyarakat). Dalam tulisan kali ini tentu saya melihat kaum ini bukan seperti pengertian pada umumnya, namun dalam cara pandang yang lebih sempit, yaitu kita semua yang menjadi bagian keluarga besar SMK Katolik St. Mikael, yang sedang menjalani tahun pelajaran 2020/2021 yang sudah selesai beberapa minggu yang lalu.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa selama menjalani tahun pelajaran 2020/2021, kita menemukan beberapa teman yang menjadi “kaum yang dipinggirkan”, khususnya ketika menjalani dinamika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Mereka yang dipinggirkan ini tidak melulu disebabkan karena miskin (dalam artian kesulitan ekonomi), namun lebih banyak karena lemah (khususnya dalam hal motivasi belajar), dan “difabel” (dalam hal ini adalah mereka yang kurang bisa beradaptasi dengan dinamika PJJ). Meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi tidak bisa dipungkiri, ada teman-teman kita yang termasuk dalam golongan tersebut.

Dalam sebuah kesempatan, saya berjumpa dengan seorang rekan guru, pada sebuah pertemuan antara pihak sekolah dengan seorang siswa dan orangtuanya. Siswa ini termasuk “istimewa”. Saya katakan demikian, karena secara bergurau, siswa tersebut ketika sekolah cukup sering mengajak orangtuanya “ikut sekolah” (dalam artian cukup orangtuanya cukup sering dipanggil oleh Pamong, untuk membicarakan perkembangan belajar putranya). Sehingga rasanya cukup fair jika siswa tersebut digolongkan dalam kategori siswa yang “istimewa” (walaupun kata istimewa di sini merupakan bentuk eufinisme…)

Dalam pertemuan yang “istimewa” dengan “orang-orang istimewa” ini, saya juga menemukan sebuah pengalaman yang “istimewa” juga. Oleh orangtua siswa tersebut, rekan saya ini justru mendapatkan pujian dan apresiasi. Ketika pertemuan berakhir, secara bergurau kami membahas, bahwa rekan saya ini jarang mendapat pujian. Sekali mendapat pujian justru dari mereka yang “istimewa”.

Namun saya memberi umpan balik dengan subuah garis bawah. Bahwa ketika seseorang mendapat pujian dan apresiasi dari mereka yang “wajar”, normal, dan “baik-baik saja”, sebenarnya malah tidak perlu ditanggapi dengan berlebihan. Justru ketika mendapat pujian dari mereka yang “istimewa”, hal ini akan menjadi sebuah nilai tambah, karena yang memberikan pujian adalah mereka yang selama ini dipinggirkan dan mengalami kesulitan. Saya teringat refleksi atas pengalaman ketika mengikuti retret bersama di tahun 2015 dan 2016. Bahwa ketika memutuskan untuk menjadi guru dan pendidik, yang harus mendapat perhatian lebih adalah mereka yang dipinggirkan. Yaitu mereka yang mengalami kesulitan belajar, mereka yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata siswa pada umumnya, dan mereka yang kurang dalam motivasi belajarnya. Pengalaman inilah yang saya sampaikan kepada rekan tersebut sebagai bentuk penguatan, untuk mempertahankan apa yang sudah baik, dan meningkatkan yang belum baik.

Dari pengalaman “istimewa” ini, saya menemukan hal yang bisa saya sampaikan dalam tulisan kali ini. Kesimpulan dalam tulisan kali ini hanyalah berbentuk saran, baik bagi para guru sebagai pendidik dan bagi para siswa. Bahwa dalam situasi, khususnya situasi yang kurang nyaman (misalnya dalam situasi PJJ), guru dan siswa tetap diajak untuk memiliki pilihan dan kepedulian bagi mereka yang lemah. Pilihan bagi mereka yang lemah sebenarnya tidak lebih dan tidak kurang dari wujud nyata slogan “Man for Others” yang juga selalu kita banggakan.

Namun kita perlu lebih cermat, agar pilihan bagi yang lemah ini tidak mengalami pergeseran makna. Dikatakan pergeseran makna jika ternyata membuat rekan kita tidak semakin berkembang ke arah yang lebih positif, namun justru ke arah yang negatif, dengan membuat teman kita semakin menjadi “parasit”. Untuk itulah, perlu kesadaran hati nurani (conscience) dalam bertindak. Jangan sampai kepedulian dan bantuan yang kita berikan sebagai aksi nyata untuk pilihan bagi yang lemah, tidak semakin mengembangkan, namun menjadi sesuatu yang menjerumuskan. Membantu rekan dalam menjelaskan materi yang kurang jelas (karena sungkan bertanya kepada guru) adalah tindakan yang baik. Tetapi membantu teman yang malas dengan memberikan jawaban saat ujian tentu bukanlah perwujudan yang tepat dari semangat “pilihan bagi yang lemah”. Sekali lagi gunakanlah suara hati yang tepat. Suara hati mungkin bisa keliru. Tetapi suara hati tidak pernah menipu.

 

Salam dan Doa

 

Alexander Arief R

Sub.Pamong

Home
Berita
Kontak
Galeri