SMK Mikael Surakarta

Kembali ke Akar Sejarah

Sejak bulan Januari 2021, Tim Kesiswaan SMK Mikael mendapat tambahan personil baru, yaitu Diakon Ardi Jatmiko SJ. Diakon Ardi saat ini bertugas mendampingi Romo Dodo dan personil-personil lain di SMK Mikael. Kemungkinan, Diakon Ardi juga yang akan menjadi “penerus” Romo Dodo di Tim Kesiswaan SMK Mikael.

            Selain itu, Diakon Ardi juga mendapat tugas tambahan untuk mengajar para siswa, sekaligus menjadi kesempatan untuk mengenal para siswa lebih jauh (di situasi pembelajaran yang tidak mudah ini). Untuk para siswa kelas XI dan XII, Diakon Ardi mengampu mata pelajaran Kekolesean. Pelajaran ini ditempatkan sebagai bagian dari mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Bedanya adalah, materi tentang Kekolesean ini merupakan materi spesifik, yang tentunya tidak ada di struktur kurikulum nasional, namun menjadi sesuatu yang sangat khas bagi Kolese yang dikelola oleh para Jesuit.

            Sebenarnya pelajaran ini bukanlah sesuatu yang baru. Walaupun tidak termasuk sebagai tim pengajar di sini, saya ikut mendukung sepenuhnya. Karena menurut saya, pengetahuan tentang kekolesean merupakan sesuatu yang wajib diberikan dan wajib dipahami oleh setiap warga kolese, siapapun itu (baik pendidik, tenaga kependidikan, maupun siswa sendiri). Meskipun dalam beberapa kesempatan hal-hal tentang kekolesean ini disampaikan, namun saya merasakan bahwa hal ini belum dipahami secara mendalam. Apalagi di masa pembelajaran jarak jauh yang tidak mudah ini, saya merasa tingkat pemahaman siswa masih kurang, khususnya bagi siswa kelas X yang belum pernah bertemu sampai hari ini. Hal inilah yang saya rasakan menjadi sebuah keprihatinan.

            Beberapa  waktu lalu, Ketika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) baru beberapa bulan berjalan, kami di Tim Kesiswaan dihadapkan pada sebuah temuan fakta, bahwa ada beberapa siswa (kelas X pada umumnya) yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran. Jika situasi memungkinkan, biasanya mereka dipanggil ke sekolah. Kesempatan ini digunakan untuk menggali lagi, apa yang menjadi akar masalah bagi mereka sehingga mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran. Sehingga, masalah ini bisa dilihat secara utuh, tidak hanya dari 1 sisi saja, tetapi dari semua sisi, untuk selanjutnya dicari solusi bersama untuk kebaikan para siswa.

            Biasanya, dalam pembukaan pertemuan tersebut, saya menanyakan kepada siswa nilai-nilai yang menjadi dasar pendidikan di SMK Mikael, sebagai bagian dari kolese universal. Mestinya hal ini pernah disampaikan di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Namun, ketika mendengar jawaban mereka, malah membuat saya heran dan tersenyum sendiri, karena jawabannya melenceng cukup jauh. Dari situ barulah saya jelaskan tentang nilai-nilai 4C (Competence, Conscience, Compassion, Commitment) yang selama ini menjadi nilai-nilai inti (core values) di kolese Universal. Setelah dicek kembali, materi ini sebenarnya pernah disampaikan di MPLS, namun entah apa sebabnya, masih banyak siswa yang belum memahami dengan baik.

            Maka ketika Diakon Ardi hadir dan menjadi pengampu pelajaran Kekolesean, saya secara pribadi sangat bergembira. Yang membuat saya gembira adalah bahwa materi Kekolesean disampaikan secara “kekinian” dan sesuai dengan jiwa para siswa yang datang dari generasi milenial. Jika kami dulu mendapat materi ini dalam bentuk teks, diminta untuk membaca, dijelaskan dengan diskusi (jika berani presentasi itu sudah hebat), dan dari situ diambil kesimpulan, metode ini tampaknya kurang cocok bagi generasi milenial yang mudah bosan dengan sesuatu yang terlalu banyak teks-nya. Bagi generasi sekarang, mereka lebih tertarik dengan materi dengan ilustrasi, dan dibagikan melalui media sosial.

            Diakon Ardi melakukan hal ini dengan baik. Dalam beberapa kesempatan, penugasan untuk siswa dikemas dengan konsep menyampaikan informasi, didukung ilustrasi yang menarik, untuk selanjutnya diunggah dan dibagikan ke media sosial. Tugas model seperti ini tampaknya lebih menarik bagi para siswa, dan saya rasakan membawa sebuah terobosan baru yang lebih baik, Maka muncullah tugas-tugas siswa dalam bentuk historiografis ataupun naratif yang dikemas dengan gambar-gambar dan tampilan yang lebih menarik. Selain itu, dengan dibagikan di media sosial, informasi-informasi tentang Kekolesean juga tidak lagi menjadi sesuatu yang eksklusif, namun juga bisa dipelajari dan dipahami oleh orang lain, bahkan orang awam sekalipun.

            Jika kembali melihat ke Spiritualitas Ignasian, pembuatan tugas seperti ini hanyalah sarana, dan bukanlah tujuan. Sarana bisa diganti dan dilepaskan jika tidak mendukung ke arah tujuan. Dan jangan sampai sarana ini selanjutnya dijadikan sebagai tujuan. Maka, dalam penugasan “milenial” ini yang terpenting adalah isinya, dan bukanlah tampilannya. Sehingga tujuan mempelajari tentang Kekolesean tidak hanya berfokus pada pembuatan tampilan yang menarik dan membagikannya ke media sosial saja.

            Selain itu, dengan mempelajari Kekolesean, para siswa juga diajak untuk belajar kembali ke akar sejarah. Bahwa dalam sejarah perkembangan Serikat Jesus di dunia dan di Indonesia sampai saat ini, tidak selalu “mulus-mulus” saja. Ada beberapa peristiwa yang tidak menggembirakan juga di sana. Siswa pun diminta untuk melihat sejarah ini sebagai sesuatu yang utuh, dengan segala kelebihan dan kekurangan, dari segala peristiwa yang menggembirakan dan menyedihkan.

            Harapannya, dengan lebih mengenal sejarah, kita bisa lebih jujur dan objektif terhadap situasi dan realitas yang ada sekarang ini. Jika hanya belajar dari segala kekurangan dan peristiwa menyedihkan, akan membentuk pribadi-pribadi yang minder. Jika hanya belajar dari segala kelebihan dan peristiwa yang menggembirakan, akan membentuk pribadi-pribadi yang sombong. Namun jika belajar dari keduanya; kelebihan dan kekurangan, peristiwa menyenangkan dan menyedihkan, akan membentuk pribadi-pribadi yang jujur dan berwawasan terbuka.

            Kembali ke akar sejarah merupakan salah satu bagian dari penyadaran diri dan pembentukan karakter seseorang. Banyak orang yang berhasil karena mereka tidak mengingkari sejarah hidup mereka (yang tidak selalu mulus-mulus saja). Begitu juga, ada orang yang gagal karena mengingkari sejarah hidupnya. Jika dalam legenda ada kisah tentang Malin Kundang, yang menjadi batu karena mengingkari sejarah hidupnya (dengan tidak mengakui ibu kandungnya). Jangan sampai  para siswa kita ini nantinya juga menjadi “Maling Kundang” di era milenial

 

 

Salam dan Doa

Alexander Arief Rahadian

Sub Pamong

Home
Berita
Kontak
Galeri